Kaltimminutes.co, Samarinda – Banjir di Kota Samarinda sudah menjadi musibah yang memilukan sekaligus menjengkelkan. Datang saban hujan deras turun. Mengatasi masalah banjir memang bukan perkara mudah.
Karena itu tak elok kalau mempolitisasi musibah banjir sebagai bahan jualan dalam berkampanye merebut simpati masyarakat. Termasuk pada even demokrasi pemilihan wali kota dan wakil wali kota Samarinda yang akan berlangsung 9 Desember 2020 mendatang.
Bagi Andi Harun, masalah banjir bukan sekadar program dan janji politik yang harus dituntaskan. AH, sapaan akrabnya, berkeyakinan bahwa upaya pemerintah dalam mengatasi banjir adalah bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
“Ini bukan janji politik apalagi mempolitisasi musibah banjir. Itu tak elok. Banjir adalah tanggung jawab kita semua. Tapi pemimpin atau kepala daerah memiliki andil besar dalam tanggung jawab itu. Sehingga diperlukan komitmen dan program yang terukur untuk mengatasi masalah ini,” ungkapnya.
Sebelum mengulik permasalahan banjir yang lebih luas, mantan wakil ketua DPRD Kaltim ini terlebih dahulu menyindir fungsi sejumlah pompa air yang dimilik Pemkot Samarinda.
Kata AH, keberadaan pompa air itu sangat membantu untuk mempercepat aliran air ke Sungai Karang Mumus (SKM), sehingga tidak menimbulkan genangan di permukiman dalam jangka waktu lama.
“Tak usah kita bahas program banjir terlalu jauh, ini dan itu. Kita mau lihat dulu pompa air yang ada. Apa sudah berfungsi maksimal,” kata AH dengan nada tanya.
Sejahu ini dia mengamati dari beberapa rumah pompa yang dimiliki pemerintah kota, hanya yang berada di sekitar simpang Lembuswana dan di pinggir Sungai Karang Mumus (SKM) Jalan Jenderal S Parman (eks Ruhui Rahayu) yang bisa sedikit diandalkan efektif. “Meskipun sebenarnya masih jauh dari harapan. Tapi paling tidak masih bisa berfungsi,” ungkapnya.
Karena itu, dia berharap lebih banyak lagi rumah pompa yang bisa berfungsi maksimal. Salah satunya adalah yang berada di sekitar Jembatan III yang menghubungkan Jalan Agus Salim dan Jalan Gatot Subroto.
“Keberadaan rumah pompa harus diperhatikan. Kawasan yang memerlukan lebih dari satu, ya harus diupayakan. Dalam program jangka pendek, rumah pompa sangat membantu,” urainya.
Kata AH, dalam mengatasi banjir pihaknya menyiapkan program jangka panjang dan jangka pendek. Keduanya sama-sama prioritas untuk segera dilakukan. Untuk program jangka pendek, salah satunya adalah pengadaan rumah pompa air. Selain juga memastikan drainase di beberapa titik banjir sudah berfungsi optimal.
“Sedangkan program jangka panjang adalah penghijauan di hulu SKM dan beberapa program yang telah kami siapkan,” pungkasnya. (*)
Apa polanya?
Penyelesaian banjir, diakui tidak serta merta harus dilakukan dengan satu macam cara. Perlu dilakukan upaya berkelanjutan dan terkontrol untuk itu.
Ada Harun juga mahfum. Ia pun jelaskan beberapa solusi yang ia bagi menjadi jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
“Jangka panjang adalah normalisasi sungai, sekaligus penataan sungai di Samarinda. Normalisasi sungai ini butuh waktu yang panjang. Berdasarkan SK Wali Kota Samarinda Nomor 32 Tahun 2004, ada 42 sungai di Samarinda,” katanya.
“Kalau kita menunggu selesainya solusi yang bersifat jangka panjang, atau kita mulai dari sana. Pasti nanti masyarakat tidak bisa melihat capaian kita dalam jangka pendek. Jangka menengah dan jangka pendek harus kita lakukan,” katanya lagi.
AH menerangkan karakteristik banjir di Samarinda itu adalah banjir kiriman dari daerah hulu. Konsep pertama yang diungkapkannya, adalah dengan memangkas aliran air tersebut. Pemerintah wajib membuat alternatif teknis agar air yang berasal dari hulu tidak masuk ke dalam kota. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan lubang bekas tambang (void) menjadi polder air.
“Karena kalau kita buat polder alami, biayanya sangat besar. Ini juga sebagai langkah mengefisienkan anggaran. Sudah ada lubangnya, daripada selama ini kita salahin-salahin terus terus lubang tambang juga tidak selesai masalahnya. Mau direklamasi pengusahanya sudah lari. Jadi lebih baik kita manfaatkan void itu jadi polder air pengendali banjir,” imbuhnya.
Pola penanganan banjir Andi Harun-Rusmadi:
1. Menyiapkan strategi pembiayaan gotong royong, yakni APBD Samarinda, APBD Kaltim dan APBN.
2. Wali Kota dan Wakil Wali Kota menjadi leader dalam penanganan banjir di Samarinda.
3. Memanfaatkan eks lubang tambang (void) sebagai salah satu pengendali banjir.
4. Pembagian pengerjaan penanganan banjir sesuai kategori. Untuk daerah terdampak lama dan parak, gunakan program jangka pendek. Sementara untuk kawasan lain, dilakukan penanganan secara paralel dan berkelanjutan.
Nantinya, di void tersebut dapat menggunakan sistem pintu air atau sistem pompa. Hal ini bisa jadi solusi jangka menengah yang bisa dilakukan.
“Pemerintah bisa libatkan perusahaan tambang untuk membantu pemerintah kota melalui kontribusi pemikiran ataupun terlibat dalam pembiayaan pembuatan polder ini,” tegasnya.
Sementara untuk jangka pendek, yakni dengan memaksimalkan normalisasi drainase dan pengendalian sampah.
“Solusi jangka pendek ini juga bisa mengajak perusahaan tambang untuk mengerahkan unit kendaraan dan peralatannya, melakukan normalisasi drainase dan sungai. CSR itu bisa berbentuk biaya, peralatan, maupun tenaga,” katanya. (*)