Kaltimminutes.co – Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mengajak band punk rock Sukatani menjadi duta Polri menuai beragam tanggapan. Ajakan ini datang setelah lagu “Bayar Bayar Bayar” dari band asal Purbalingga itu menjadi sorotan karena liriknya yang mengkritik dugaan praktik pungutan liar oleh oknum kepolisian.
Dalam keterangannya, Kapolri menegaskan bahwa pihaknya terbuka terhadap kritik dan mengajak Sukatani berperan lebih jauh dalam membantu perbaikan institusi Polri.
“Nanti kalau Band Sukatani berkenan, akan kami jadikan juri atau band duta untuk Polri dalam membangun kritik demi koreksi dan perbaikan terhadap institusi serta evaluasi terhadap perilaku oknum Polri yang masih menyimpang,” ujar Listyo Sigit, Minggu (23/2/2025).
Ajakan ini menjadi perbincangan publik karena sebelumnya Sukatani telah meminta maaf dan menarik lagu mereka yang kontroversial. Video permintaan maaf tersebut justru memicu spekulasi di masyarakat tentang kemungkinan adanya tekanan terhadap band tersebut.
Kini, muncul pertanyaan: Apakah bergabungnya Sukatani sebagai duta Polri akan mengurangi independensi mereka dalam menyampaikan kritik sosial? Ataukah ini merupakan langkah strategis kepolisian dalam merangkul kritik demi reformasi institusi?
Kapolri menegaskan bahwa Polri tidak anti-kritik dan ingin terus berbenah menjadi organisasi yang lebih modern.
“Kritik terhadap Polri adalah bentuk kecintaan masyarakat terhadap institusi ini. Kami ingin menunjukkan bahwa Polri terbuka terhadap masukan dan evaluasi,” kata Listyo Sigit.
Namun, di sisi lain, pengamat menilai bahwa ajakan ini bisa menjadi strategi kepolisian untuk merangkul kelompok kritis agar suara mereka lebih terkendali.
“Ada dua kemungkinan. Pertama, ini bisa jadi sinyal bahwa Polri benar-benar ingin berubah dan melibatkan suara dari bawah. Kedua, ini bisa jadi bentuk kooptasi agar kritik tidak lagi sekencang sebelumnya,” ujar pengamat politik dan budaya pop Yusuf Wibowo.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Sukatani terkait ajakan tersebut. Jika mereka menerima tawaran ini, apakah mereka masih bisa menyuarakan kritik dengan leluasa? Atau justru akan kehilangan kebebasan dalam berekspresi?
Yang jelas, keputusan ini akan menentukan bagaimana publik melihat hubungan antara seni, kritik sosial, dan reformasi institusi di Indonesia.
(Redaksi)