Kaltimmimutes.co, Samarinda— Pemerintah saat ini sedang menggencarkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), yang berpusat di Penajam Paser Utara (PPU).
Namun kini pembangunan IKN kembali kembali mendapat sorotan dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur.
Sorotan tajam diberikan sejumlah aktivis dan akademisi sebab pemerintah disebut kembali melakukan tindakan semena-mena dengan menggusur ruang hidup masyarakat.
Penggusuran ruang hidup masyarakat itu disebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sehingga Otorita IKN mengeluarkan 8 landasan. Satu di antaranya yakni Perpres Nomor 64 Tahun 2022, tentang rencana tata ruang kawasan strategis nasional Ibu Kota Nusantara 2022-2024.
Melalui Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN disebutkan beberapa hunian warga harus dirobohkan dalam tempo 7 hari karena dianggap tidak berizin dan tidak sesuai dengan tata ruang wilayah pengembangan IKN.
“Kami menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanah mereka dengan dalih apapun,” tegas salah satu anggota KMS Kaltim, Herdiansyah Hamzah melalui siaran daring, Rabu (13/3/2024).
Untuk diketahui upaya pemerintah menggusur ruang hidup masyarakat itu dikemukakan pada 4 Maret 2024 kemarin, melalui Surat Nomor : 179/DPP/OIKN/III/2024 Perihal Undangan Arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan/atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN.
“Ancaman Badan Otorita IKN itu secara tiba-tiba ingin mengusir warga dengan dalih pembangunan Ibu kota. Jelas ini adalah bentuk tindakan abusive pemerintah,” tekan pria yang karib disapa Castro.
“Ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan,” kata Castro lagi.
Tindakan semena-mena pemerintah saat ini kembali mengingatkan aktivis dan akademisi tentang rezim Orde Baru yang represif dan menghalakan segala cara.
“Ini adalah bentuk intimidasi. Upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga,” tambahnya.
Menurut koalisi, masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang mana seharusnya menjadi titik balik pemerintah melakukan hal terbalik. Seperti pengakuan dan pemberian ruang hidup, bukan malah sebaliknya dengan merampas untuk pembangunan proyek ambisius.
Selain itu, koalisi juga menyoal dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Sehingga dokumen dinilai cacat secara hukum.
“Kami menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan,” tandasnya.
Untuk diketahui Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur yang saat ini tegas menentang penggusuran terdiri dari Jatam Kaltim, KIKA Kaltim, AJI Samarinda, LBH Samarinda, Aksi Kamisan Kaltim, SAKSI FH Unmul, PEMA Paser, POKJA 30, PuSHPA FHUNMUL, Pus-HAMMT UNMUL, TKPT, AMAN Kalimantan Timur, PUSDIKSI FH UNMUL, Nomaden Institute, Sambaliung Corber, dan Perempuan Mahardhika.
(*)