Hukrim

Komentar Fadli Zon Soal Perkosaan Massal 1998 Tuai Protes, Dinilai Lukai Korban dan Penyangkalan Sejarah

89
×

Komentar Fadli Zon Soal Perkosaan Massal 1998 Tuai Protes, Dinilai Lukai Korban dan Penyangkalan Sejarah

Sebarkan artikel ini
Pernyataan penyesalan negara yang dibacakan oleh Presiden Ketiga RI BJ Habibie atas peristiwa pemerkosaan massal 1998 yang dibacakan 15 Juni 1998, menjadi prasasti di depan Kantor Komnas Perempuan, (10/4/2025).(KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO)

Kaltimminutes.co –  Upaya Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengajak publik bersikap hati-hati dalam menafsirkan istilah “perkosaan massal” pada tragedi Mei 1998 justru memicu reaksi balik yang luas. Pernyataan tersebut dinilai melemahkan narasi korban dan menimbulkan kembali luka lama dalam ingatan kolektif bangsa.

Fadli Zon menilai pernyataan itu bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” ucapnya.

Dia mengatakan istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Sehingga, kata dia, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

Fadli Zon, dalam klarifikasinya, menegaskan bahwa ia tidak menafikan terjadinya kekerasan seksual saat kerusuhan 13-14 Mei 1998. Namun ia menggarisbawahi pentingnya ketelitian dalam penggunaan istilah “massal” yang menurutnya belum didukung data konkret secara hukum dan akademik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujarnya.

Merespons kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan
pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Meski demikian, klarifikasi tersebut tidak meredam kritik. Sejumlah aktivis perempuan dan organisasi masyarakat sipil menilai Fadli justru menunjukkan bentuk penyangkalan negara atas kekerasan terhadap perempuan yang terdokumentasi dalam laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan buku Sejarah Nasional Indonesia.

Aktivis perempuan Ita Fatia Nadia menegaskan bahwa peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa telah tercatat dalam sejarah resmi.

“Saya ingin menyatakan, bahwa apa yang dikatakan Fadli Zon, tentang itu bohong, itu romor, itu menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada Mei1998, fakta sejarah itu sudah ditulis dalam buku sejarah nasional Indonesia, jilid VI pada halaman 609 di situ tertulis bahwa ‘Pada pergolakan politik bulan Mei 1998, terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah perempuan Tionghoa, di Jakarta, di Medan, di Palembang, di Surabaya, dan Solo’,” ujar aktivis perempuan Ita Fatia Nadia dalam jumpa pers Koalisi Perempuan, Jumat (13/6).

Senada, mantan Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk penyangkalan sistemik yang masih terjadi di level pemerintahan.

“Jadi menurut saya pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahwa peristiwa pemerkosaan Mei 98 adalah rumor, ini pertanda, pertama ini menunjukkan menteri kita ini bagian dari budaya penyangkalan yang ternyata 30 tahun setelah laporan itu dibuat sekarang masih ada, dan sekarang masih ada di jajaran tertinggi pemerintahan kita,” kata Kamala.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai Fadli Zon gagal memahami definisi “otoritas kebenaran”.

“Nah sekarang apa benar peristiwa perkosaan dalam Mei 1998 selama terjadi kerusuhan adalah rumor berdasarkan pengertian itu? Saya kira itu bukan rumor, dan kenapa bukan rumor? Pertama, karena ada otoritasnya, jadi kalau rumor adalah cerita fiksi yang beredar luas di masyarakat tanpa ada otoritas yang mengetahui kebenarannya, secara faktual ada optoritasnya,” kata Usman.

Dalam keterangannya, Fadli mencoba menjembatani polemik ini dengan menyebut bahwa keterbukaan publik dan dialog sehat menjadi kunci. Ia juga menyatakan bahwa narasi perempuan tetap menjadi bagian penting dalam penyusunan buku Sejarah Indonesia versi baru yang tengah dikembangkan.

“Sejarah bukan hanya masa lalu, tapi tanggung jawab moral kita di masa kini dan masa depan,” kata Fadli, yang menyatakan siap berdialog langsung dengan publik dan komunitas perempuan.

Namun, bagi banyak pihak, pernyataan tersebut belum cukup. Mereka menuntut permintaan maaf secara terbuka atas narasi yang dianggap mereduksi penderitaan perempuan korban kekerasan 1998

(Redaksi)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *