Kaltimminutes.co – Alexander Agustinus Rottie mungkin tak pernah menyangka bahwa makan siang yang ia lakukan di sebuah rumah makan sederhana kawasan Teling Atas, Manado, Selasa (10/6/2025), akan menjadi santapan terakhirya sebelum ia ditahan oleh Kejaksaan Negeri Samarinda.
Di tempat itulah aparat gabungan kejaksaan akhirnya menangkapnya, setelah delapan tahun ia hidup dalam pelarian atas vonis kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
Pria berusia 52 tahun itu sempat hidup tenang selama bertahun-tahun, jauh dari sorotan publik. Ia menyamar sebagai pendeta, melayani umat dan berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah lain. Aktivitasnya yang terbungkus jubah keagamaan membuat aparat penegak hukum kesulitan melacak jejaknya.
“Dia sempat berpindah dari Berau ke Manokwari, lalu ke Minahasa. Bahkan sempat mengganti identitas dalam KTP-nya,” ungkap Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda, Firmansyah Subhan, dalam konferensi pers yang digelar Rabu (11/6/2025).
Alexander sebelumnya diadili pada 2016 di Pengadilan Negeri Samarinda atas tuduhan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Saat itu, ia dibebaskan secara murni oleh majelis hakim. Namun kejaksaan tak puas dan mengajukan kasasi. Hasilnya, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bersalah dalam putusan nomor 2121 K/PID.SUS/2017.
Dalam putusan tersebut, Alexander dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan persetubuhan terhadap anak di bawah umur dengan cara bujuk rayu dan kebohongan. Ia divonis lima tahun penjara dan denda Rp60 juta, subsider dua bulan kurungan. Namun, alih-alih menjalani hukuman, Alexander justru menghilang.
Selama pelariannya, Alexander menjalani kehidupan layaknya seorang rohaniwan. Ia tampil sebagai pendeta di sejumlah daerah dan menjauhi keramaian. Penyamaran itu membuatnya tak tersentuh hukum selama bertahun-tahun. Bahkan, warga sekitar tempat ia tinggal di Minahasa menyebut Alexander sebagai sosok religius yang sopan dan tertutup.
Baru pada tahun 2025 aparat berhasil mendapatkan informasi akurat soal keberadaannya, berkat kerja intelijen Tim SIRI Kejaksaan Agung, Kejati Sumatera Utara, dan Kejari Samarinda. Operasi senyap pun dilakukan. Alexander ditangkap tanpa perlawanan saat sedang makan siang sendirian.
“Setelah tertangkap, ia langsung kami bawa ke Samarinda untuk menjalani masa hukumannya di Rutan Kelas I Samarinda,” jelas Firmansyah.
Di hadapan wartawan, Alexander tetap menunjukkan penyangkalan. Ia mengaku tidak tahu-menahu soal vonis kasasi. Ia juga menyebut bahwa pengacaranya tidak pernah memberitahukan adanya putusan baru dari Mahkamah Agung.
“Saya pikir perkara itu sudah selesai. Saya di vonis bebas murni. Tidak ada bukti kuat waktu itu. Saya tidak pernah kabur,” ujar Alexander singkat.
Ia juga membantah telah mengganti identitas.
“Saya tidak pernah ubah KTP. Demi Tuhan, saya tidak bersalah,” katanya sambil menundukkan kepala.
Namun, penyangkalan itu tidak mengubah kenyataan. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Tak ada ruang lagi untuk pembelaan di luar mekanisme hukum yang berlaku.
Alexander kini mendekam di balik jeruji besi, menyusul bertahun-tahun pelarian yang membuatnya jauh dari jangkauan hukum.
Meski begitu, ia masih berencana untuk melakukan upaya hukum lanjutan.
“Akan saya lakukan,” ujar Alexander sebelum digiring petugas menuju ruang tahanan.
(Redaksi)