Kaltimminutes.co, Samarinda – Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI, melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur, Rabu (22/1/2020). Kunjungan ini untuk meninjau lokasi terdampak banjir yang menerjang Samarinda pada 11-16 Januari 2020.
Doni meninjau lokasi persawahan terdampak banjir yang mengalami gagal panen di Pelita 6, RT 16,17,18 Sambutan, Samarinda.
Luas lahan yang mengalami gagal panen meliputi milik kelompok tani Berkat Usaha 20 hektare, Bina Usaha 15 hektare, Pelita Berkat Mandiri 14 hektare, Rahmad Abadi 16 hektare, dan Agro Wisata 16 hektare. Total seluruh lahan pertanian yang gagal panen akibat diterjang banjir mencapai 81 hektare.
Doni menyebut, bencana banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Samarinda, diakibatkan oleh perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Perubahan iklim ini membuat musim kemarau akan terjadi lebih lama, sementara saat hujan akan terjadi dengan intensitas tinggi dan dalam jangka waktu lama.
Khusus untuk masalah banjir Samarinda, akan sulit untuk dihindari karena kondisi penyempitan pada aliran sungai, ditambah geografis Samarinda yang rendah. Doni juga mengingatkan agar tidak lagi menyalahkan masa lalu, seperti kebijakan yang mengubah fungsi lahan. Pemerintah daerah diminta untuk menyiapkan program penanganan di masa mendatang, seperti melakukan vegetasi di sepanjang aliran sungai, mengembalikan fungsi lahan, menjaga perilaku warga untuk tidak sembarangan membuang sampah, hingga membuat gerakan memperbaiki drainase.
“Terkait maslaah banjir, akan sulit kita hindari sekarang dan nanti. Jangan lihat ke belakang soal alih fungsi lahan, tapi lihat ke depan apa yang bisa kita lakukan. Vegetasi harus dilakukan, mengembalikan fungsi lahan menjadi daerah serapan air, menjaga perilaku, membuat gerakan membersihkan dan memperbaiki drainase,” jelas Doni.
Doni meminta pemerintah daerah bila bencana banjir terjadi, harus turun ke lapangan. Melakukan evakuasi terhadap warga terdampak banjir. Terutama warga yang tinggal di kawasan rendah dan di lereng tebing yang berpotensi terjadi tanah longsor. Bila perlu, pemerintah daerah dapat memberikan sanksi kepada warga yang menolak dievakuasi, sehingga tidak ada korban jiwa pada bencana yang terjadi.
“Kenapa ada korban jiwa, biasanya akibat warga enggan keluar rumah meninggalkan harta bendanya, sehingga menimbulkan korban. Bila perlu kepala daerah bisa memberi sanksi kepada warga yang tidak mau dievakuasi. Menajemen krisis inilah yang perlu diperdalam oleh pemerintah daerah,” imbuhnya.
Selain manajemen krisis, daerah juga diminta untuk memperkuat BPBD, seperti tambahan alokasi dana, meningkatkan kualitas SDM, dan menambah perlengkapan lapangan.
Sementara itu, Isran Noor, Gubernur Kaltim menerangkan, Pemprov Kaltim telah mengalokasikan anggaran tanggap darurat di APBD. Bahkan pada 2018, ada anggaran Kaltim sebesar Rp 20 miliar tidak digunakan untuk penanganan bencana di Kaltim.
Isran berharap ada kucuran anggaran dari BNPB kepada daerah, sehingga memperkuat tanggap darurat bila bencana terjadi.
“Tahun ini BNPB dapat Rp 4 triliun dari APBN, bisa dikucurkan ke Kaltim Rp 400 miliar. Anggaran pusat ke daerah bisa lebih proporsional. Akan kami gunakan sepenuhnya ke untuk kebencanaan kaltim,” jabar Isran.
Tidak melulu soal banjir, Samarinda ternyata memiliki potensi bencana yang besar. Hal tersebut disampaikan Syaharie Jaang, saat rapat koordinasi bersama BNPB RI.
Syaharie Jaang menyampaikan dokumen risiko bencana kepada Kepala BNPB. Dalam dokumen tersebut, ada tujuh potensi bencana yang menghantui Samarinda, di antaranya banjir, longsor, cuaca ekstrim, kebakaran hutan, kebakaran lahan, wabah diferi, dan konflik sosial.
“Secara umum dokumen itu berisi tentang risiko bencana di Samarinda, kami bekerja sama dengan tim ahli dari Universitas Mulawarman untuk mengkaji itu. Tidak ada rincian anggaran di dokumen itu, hanya garis besar seluruh risiko bencana yang berpotensi terjadi,” pungkas Jaang. (yd//)